Dissapointing Books I Read in 2017

 
1. Brida, Paulo Coelho


Buku ini bercerita tentang Brida yang ingin mempelajari sihir (atau seperti itulah yang saya pahami). Saya membeli buku ini karena pernah membaca resensi yang mengatakan buku ini bagus. Ditambah dengan nama Paulo Coelho yang juga dianggap sebagai penulis berkualitas. 

Ternyata, setelah membaca buku ini beberapa halaman, saya merasa buku ini “nggak saya banget”. Namun, saya mencoba untuk terus membaca hingga bagian pertengahan buku. Tetap saja saya merasa nggak nyambung, nggak ngerti, dan nggak tertarik dengan kisah si Brida. Entah mengapa, buat saya kisahnya aneh sekali.

Mungkin saya yang nggak bisa memahami bahasa tinggi dari Paulo Coelho atau memang buku itu tidak cocok untuk saya, yang jelas saya merasa buku Brida ini mengecewakan sekali. Saya pikir saya akan terpesona dengan buku ini. Ternyata tidak sama sekali.

2. Toriad, Ziggy Z.


Setelah membaca Lucid Dream dan terpukau karenanya, saya penasaran dong dengan karya Ziggy lainnya. Jadi, waktu ada obralan buku dan menemukan Toriad dan Saving Ludo di antara tumpukan buku itu, saya langsung membelinya tanpa pikir panjang.

Ternyata eh ternyata, saya benar-benar tidak paham dengan jalan cerita di Toriad ini. Awalnya sih bagus, cerita tentang petualangan seorang anak dan gerombolannya. Tetapi pas sampai di negeri Toriad inilah saya nggak mengerti, sebenarnya cerita ini konflik utamanya di mana sih. Kok tiba-tiba kita dihadapkan pada masalah Toriad.

Saya memaklumi kalau ini karya Ziggy di lini Fantasteen, yang berarti sewaktu menulisnya, dia masih muda. Toh, selama produktif menulis, karya-karya yang dihasilkan akan semakin bagus.

Baca juga ulasan saya tentang karya Ziggy di sini.

3. Memorabilia, Sheva


Sebenarnya agak berat juga saya meletakkan Memorabilia di list ini. Karena sebenarnya, ceritanya tidak mengecewakan-mengecewakan amat. Hanya saja, saya merasa ada yang kurang di novel ini. Seperti kurang sesuatu yang membuat pembaca benar-benar merasa tersentuh dan bersimpati dengan tokoh-tokoh di novel ini.

Saya membayangkan Memorabilia semacam novel istimewa yang cocok dibaca di kala hujan sambil menyeruput kopi. Apalagi gaya menulis si penulis yang saya baca di blognya mendukung hal itu. Tetapi, ketika membaca novelnya, saya merasa sedikit kecewa. Mungkin karena ekspektasi saya juga yang terlalu tinggi terhadap Memorabilia.

Meskipun begitu, saya tetap menunggu dan ingin membaca karya-karya Sheva selanjutnya.

4. Orange, Windry Ramadhina


Sejak membaca Montase, lalu dilanjut dengan London dan Walking After You, saya semakin mantap menjadi Windry Ramadhina sebagai salah satu penulis lokal favorit saya. Oleh karena itu, saya ingin membaca semua karya-karyanya, terutama yang temanya menarik bagi saya.

Orange adalah novel pertama Windry yang katanya laris di pasaran dan dicetak ulang dengan cover baru dan beberapa perbaikan dan tambahan di isinya. Nah, suatu hari di blognya, si penulis menjual buku-bukunya yang sudah agak susah didapatkan di toko buku. Salah satu judul buku yang ditawarkan adalah Orange. Tanpa pikir panjang saya pun ikut memesan

Saya tahu Orange adalah novel perdananya. Tetapi saya berpikir, yang saya beli kan versi cetak ulang yang katanya sudah dipoles lagi. Pastilah seharusnya lebih bagus dari Orange versi pertama dan novel-novel sebelumnya.

Ternyata setelah saya baca, ceritanya biasa saja dan cukup klise. Saya nggak terlalu bersimpati dengan tokoh Faye apalagi dengan Diyan. Entahlah. Padahal hampir semua tokoh Windry saya suka, lho. Kecuali pasangan ini saja.

5. The Truth about Forever, Sarah Dessen


Setelah membaca Along for the Ride dan menyukainya, saya penasaran dengan karya-karya Sarah Dessen lainnya. Salah satu yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah The Truth about Forever. Omong-omong, saya beli buku ini sudah lama, tetapi baru bacanya tahun ini.

Saya tidak tahu sih, apakah ada beda jika saya membacanya dulu, sebelum saya menikah dengan sesudah menikah. Yang jelas, saya benar-benar suka sekali dengan Along for the Ride dan seolah bisa merasakan apa yang dirasakan Auden. Sementara, di The Truth about Forever saya merasa ada yang kurang. Entah di bagian mana yang kurang. Mungkin karena alur ceritanya datar dan kurang bergejolak kali ya. Atau karena alur ceritanya yang cukup lambat, padahal untuk beberapa hal sudah dapat ditebak.

Meskipun begitu, saya tetap suka dengan latar belakang tokoh Macy. Tipikal anak baik-baik yang selalu menurut perintah orang tua tetapi sebenarnya merindukan petualangan atau sesuatu yang berbeda dalam hidupnya.

Itulah lima buku yang mengecewakan saya tahun ini. Bukan berarti kelima buku tersebut berkualitas jelek. Tetapi mungkin ekspektasi saya yang terlalu tinggi terhadap buku-buku tersebut. Atau selera saya yang ternyata tidak cocok dengan buku-buku itu. Yah, sekali lagi ini masalah selera.

Semoga tahun 2018 banyak buku menyenangkan dan mengesankan yang saya baca. Bagaimana denganmu, apa buku yang paling mengecewakan yang kamu baca tahun ini?

Komentar