Resensi Buku: Samudra di Ujung Jalan Setapak


Penulis             : Neil Gaiman
Penerjemah      : Tanti Lesmana
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : Juli 2013
Halaman          : 262


George menghabiskan pesta ulang tahun ketujuhnya sendirian. Hanya dia dan hadiah-hadiah dari kedua orangtuanya. Tapi dia tidak keberatan. George memang lebih senang mengisi waktunya dengan membaca buku dan berpetualang dengan tokoh-tokoh di dalamnya.

Sampai suatu hari, mobil ayahnya hilang. Kemungkinan, mobil itu dibawa anak-anak iseng karena mereka meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan. Saat George dan ayahnya berniat membawa mobil itu pulang, ternyata di dalamnya terdapat mayat pria penambang opal. Karena urusan mobil itu menjadi panjang, George diajak mampir ke rumah Lettie Hampstock, yang berada di ujung jalan tempat mobil ditemukan.

George menurut saja dibawa Lettie, gadis sebelas tahun yang mengatakan kalau ia punya Samudra. Nyatanya, itu hanya sebuah kolam kecil di belakang rumah pertanian keluarga Hempstock. Di rumah itu, George bertemu dengan ibu Lettie, Ginnie Hampstock, dan neneknya, Mrs. Hempstock Tua.

George tidak menyangka, peristiwa meninggalnya pria penambang opal dan perkenalannya dengan keluarga Hempstock ternyata membawanya ke pengalaman paling aneh dan tak terlupakan di sepanjang masa kecilnya. Tiba-tiba saja, dirinya menjadi jalan keluar bagi sebuah makhluk aneh yang ingin merusak kehidupan manusia.

Sejujurnya, waktu pertama kali lihat buku Samudra di Ujung Jalan Setapak ini, aku berharap tulisan Neil Gaiman ini menyuguhkan kisah fantasi indah bernuansa peri dan bintang jatuh seperti Stardust. Apalagi dengan desain sampul yang cantik berwarna biru laut, membuat aku makin merasa yakin kalau ini adalah kisah fantasi yang indah.

Ternyata tidak. Kisah ini bukan kisah yang menyenangkan. Bahkan meskipun narratornya seorang anak kecil berumur tujuh tahun. Kisah ini tentang perlawanan seorang anak kecil dan tiga perempuan ‘ajaib’ terhadap makhluk tua dari dunia lama yang masuk ke dunia sekarang.

Dari awal baca sampai tamat, masih nggak ngerti apa hubungan Lettie dengan makhluk-makhluk aneh itu, dan sebenernya mereka siapa sih? Endingnya juga rasanya masih gantung buat aku. Kayak masih banyak yang belum dijelaskan. Atau mungkin akunya terlalu bodoh untuk menangkap maksudnya?

Yang jelas, setelah baca buku ini, aku merasa sedikit menyesal sih, karena tipe ceritanya bukan ‘aku’ banget. Aku memang nggak terlalu suka sama cerita-cerita suram gitu. Tapi, entah kenapa, penasaran banget sama buku ini, apalagi setelah membaca review beberapa blogger buku tentang buku ini.

Yah, mungkin ini hanya soal selera. Mungkin aku memang lebih suka membaca Stardust dan kawan-kawannya. Syukurlah, (sekali lagi) desain sampul dari Gramedia ini cantik banget. Jadi nggak nyesel-nyesel banget belinya. (Eh, sebenernya buku ini juga nggak beli sih, waktu itu aku dapet voucher buku gratis dari Gramedia, dan salah satu buku yang kubeli dari voucher itu adalah buku ini, hehehe)

PS: Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu 'Aku', yang sebenarnya tidak secara gamblang dan dari awal disebutkan bernama George. Tokoh 'Aku' baru ketahuan namanya di hampir mendekati akhir cerita, ketika dia teringat kalau ayahnya dulu suka memanggilnya 'George ganteng'. Begitulah, bahkan nama adik perempuannya saja (yang juga menjadi tokoh dalam cerita ini) tidak disebutkan. 

[Review ini diikutsertakan dalam Lucky No. 14 Reading Challenge kategori Cover Lust]

Komentar