Resensi Buku: Every You, Every Me


Penulis             : David Levithan
Penerbit           : Alfred A. Knopf
Tahun terbit     : 2011
Halaman          : 279 


Evan masih dirundung duka karena kepergian sahabatnya, Ariel. Di tengah kesedihannya, muncul amplop berisi foto tempat di mana ia berdiri saat itu. Tidak ada nama atau keterangan di amplop atau foto tersebut. Keesokan harinya, Evan kembali menemukan amplop berisi foto. Kali ini, foto itu adalah foto dirinya. Dan yang lebih aneh, foto itu diletakkan seolah untuk ditemukan oleh dirinya.

Evan merasa foto-foto itu masih ada hubungannya dengan Ariel. Mungkinkah Ariel yang mengirimi foto-foto itu? Dari tempat di mana amplop itu diletakkan, tentu saja si pengirim masih berada di dekat situ. Bercampur perasaan takut, cemas, dan penasaran, Evan menceritakan misteri itu kepada sahabatnya, Jack.

Evan, Jack, dan Ariel adalah sahabat dekat. Ariel-lah yang mengenalkan Evan pada Jack. Dan meski diam-diam Evan menyukai Ariel, gadis itu lebih memilih Jack sebagai pacarnya. Meskipun begitu, ketiganya tetap bersahabat dekat, hingga saat kepergian Ariel.

Jack, awalnya menanggapi misteri yang diceritakan Evan. Amplop berisi foto itu bahkan tidak hanya dikirimkan untuk Evan, melainkan untuk Jack. Membuat Evan semakin yakin kalau semua itu berhubungan dengan Ariel. Siapa lagi orang yang dekat dengan Ariel selain mereka berdua?

Tapi, apa maksud si pengirim terus menerus mengirim foto kepada mereka, khususnya Evan? Dan apa hubungannya dengan Ariel? Evan berusaha keras memecahkan misteri itu, di tengah perasaannya yang masih dilingkupi kesedihan karena kepergian Ariel dan kecurigaan Jack yang mengira Evan-lah yang membuat semua lelucon itu karena tidak bisa menerima kenyataan.

Well, another story from David Levithan.

Every You, Every Me adalah sebuah novel fotografis kolaborasi dari David Levithan dan Jonathan Farmer. Seperti yang ditulis di review, di beberapa bagian cerita terdapat foto-foto yang dicantumkan, yaitu foto-foto yang diterima oleh Evan dari pengirim misterius. Sebagian besar, muncul di tiap awal bab.

Ceritanya sendiri, menurut saya cukup singkat dibanding dua novel Levithan yang sebelumnya saya baca (Dash and Lily Book of Dares dan Everyday). Selain menggunakan foto, Levithan juga menggunakan format strikethrough di tulisannya. Diceritakan dari sudut pandang Evan, format strikethrough digunakan ketika Evan mengungkapkan apa yang dia inginkan, namun yang dia lakukan berbeda.

Misal : I saw the envelope sitting there on the ground. I should have left it alone. I should have been left alone. I was alone. I stopped and picked it up. From the weight, I knew there was something inside. I decided to open it.

Atau ketika Evan sedang teringat dengan kenangannya bersama Ariel, atau saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Misal : And then my mind started getting so angry at itself. I know I suck. I know I’m stupid. Stop telling me. I know. Because the answer had been here all along.

Bagi saya, rasanya seru setiap menemukan novel dengan format yang berbeda atau tidak seperti yang biasa. Ditambah, kemunculan foto-foto yang membuat saya terus penasaran dengan gambarnya yang agak spooky. 

Sayangnya, di cerita ini, misteri Ariel tidak diceritakan dengan jelas. Entah memang sengaja dibuat tetap jadi misteri atau saya yang terlalu bodoh menangkap maksudnya. Jadi, si Ariel ini di sekolah dikenal sebagai gadis yang menderita gangguan kejiwaan dan Evan merasa hanya dia yang benar-benar mengerti Ariel. Sedangkan Evan sendiri, termasuk anak pendiam dan pemalu, berbeda dengan Jack yang lebih supel dan aktif (dan mungkin lebih normal).

Jujur, saya sih tidak terlalu suka dengan si Ariel ini. Lebih karena Levithan tidak menceritakan dengan jelas dan tersurat apa yang sebenarnya terjadi pada Ariel. Dan kemanakah sebenarnya dia pergi? Meninggal atau masuk rehabilitasi? Dan karena dia juga jahat sama Evan, huhuhu…

Sedangkan Evan mungkin juga memiliki sedikit gangguan jiwa, meskipun tidak separah Ariel. Dia terlalu menenggelamkan dirinya dalam kesedihan dan terlalu menyalahkan dirinya sendiri. Dia dihantui ketakutan akan Ariel yang balas dendam kepadanya karena tidak bisa menolong Ariel.

Satu-satunya yang bertindak rasional di sini cuma Jack. Dia memilih untuk tidak menanggapi foto-foto misterius itu. Meskipun pada akhirnya, keputusan Evan menelusuri pengirim foto misterius ada benarnya juga. Walaupun di akhir, alasan si pengirim (menurutku) tetap tidak masuk akal juga. Rasanya saya pengen banget bilang, “terus kenapa?”

Dari cerita ini, mungkin Levithan ingin menyampaikan kalau kita tidak pernah bisa benar-benar mengenal pribadi seseorang, meskipun kita dekat dengan dia, meskipun kita menghabiskan waktu bersamanya, meskipun kita sangat mencintainya. Seperti kata Ariel, “You don’t know me. You know one me, just like I know one you. And you can’t know every me, like I never know every you.”

Secara keseluruhan, saya selalu suka dengan tulisan David Levithan, karena selalu membuat saya merenung tentang berbagai sisi kehidupan. Bagaimana tokohnya memandang hidup dan masalah yang terjadi, ikut membukakan pikiran yang selama ini mungkin tidak berpikir sampai ke sana. Meskipun, ya itu tadi, agak bikin geregetan jalan ceritanya.

Satu lagi, saya juga suka sama covernya, gloomy banget. Benar-benar menggambarkan sosok remaja laki-laki yang sedang bersedih. Siapa ya yang jadi modelnya?

[Review ini diikutsertakan dalam Young Adult Reading Challenge 2014]


Komentar