Resensi Buku: The Grey Labyrinth



Penulis             : Tyas Palar
Penerbit           : Imania
Tahun Terbit    : 2011
Halaman          : 265

Kembali lagi pada kisah penyihir Glamorgan, Edward Twickenham, setelah 400 tahun sejak kisah pertama, The Death to Come. Diawali dengan kisah Edward dan muridnya, William Gray. William datang untuk memberitahu kalau Gaspar Deacroix ingin bertemu dengan Edward di Pegunungan Pyrennes tempat para penyihir Basque tinggal. William juga memberi tahu tentang buku yang dicuri Gaspar dan kini berada di tangan William.

Di tempat lain, Lisabon, 5 tahun sebelumnya, sekolompok penyihir mengendap-ngendap untuk mencuri beberapa benda dari gedung penyimpanan senjata Kerajaan Portugal. Kelompok itu dipimpin oleh penyihir dari Genoa, Vespaccio, beranggotakan Natasha Smolensk yang memiliki keahlian memindahkan benda-benda dan Nuno Riberio yang mampu memperbaiki benda-benda.

Selain dua potong kisah tersebut, ada potongan-potongan cerita lain, yang jika intinya adalah menceritakan usaha sekelompok penyihir untuk mencegah terjadinya peperangan dan wabah di dunia. Sedangkan di sisi lain, Dewan Penyihir, yang dianggap sebagai pemimpin para penyihir di dunia, telah melarang para penyihir ikut campur urusan manusia, dan membiarkan manusia menyelesaikan sendiri masalah mereka. Namun, sebagian penyihir itu merasa tidak tahan dengan peraturan itu karena kasihan dengan manusia yang terkena wabah atau dijajah bangsa lain.

Untuk novel kedua ini, bagian Edward memang tidak sebanyak buku pertama. Begitu juga dengan persahabatannya dengan penyihir dari Denmark, Ivar Eidfjord. Padahal itu salah satu faktor yang bikin aku suka sama karya Tyas Palar yang satu ini.

Di buku kedua, cerita dijalin dengan potongan-potongan kejadian yang berpindah tempat bahkan berganti tahun. Ini menjadi tantangan sendiri buat aku, karena aku orangnya suka lost track sama tahun kejadian, dan akhirnya bikin aku butuh waktu lama untuk bener-bener paham sama cerita ini.

Kalau dibandingin dengan buku pertama, jujur saja, aku lebih suka yang pertama. Selain karena dialog antara Edward dan Ivar yang jauh lebih banyak dan bikin ketawa, juga adanya catatan kaki yang membahas tentang sejarah sihir dan sebagainya. Sedangkan di buku kedua, tidak ada lagi catatan kaki. Tokoh Ivar masih muncul, tapi kekocakannya hanya muncul sedikit.

Sedangkan untuk ilustrasi, baik sampul maupun isi, lebih bagus buku yang kedua. Gambar penyihir tua berjanggut dengan tongkat bintang yang muncul di tiap awal bab menghilang dan digantikan dengan semacam ukiran yang mirip sayap burung. Sampul depannya juga kelihatan lebih oke dibanding buku pertama. Selain itu, warna kertasnya, lebih terang, sehingga lebih nyaman untuk mata aku.

Mengenai judul buku ketiga yang kemarin masih jadi misteri untuk aku, ternyata ada di halaman terakhir buku kedua. Judulnya “The Age of Misrule”. Yah, kita tunggu saja. Mudah-mudahan segera terbit.

[Review ini diikutsertakan dalam Lucky No.14 Reading Challenge kategori Blame it on Bloggers]

Komentar