Resensi Buku: Mengulas 3 Karya Ziggy



Kali ini saya mau membahas 3 karya penulis bernama unik, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie. Setelah sebelumnya terpesona dengan Lucid Dream, saya tertarik untuk membaca hampir semua karya Ziggy. Saya berkesempatan membaca tiga buah bukunya dengan ekspektasi yang cukup tinggi. Apakah setelah dibaca buku-buku itu sesuai dengan harapan saya? Let’s find out!

Saving Ludo (Mizan Fantasteen, 2015)


Ini karya kedua Ziggy yang saya baca. Masih di bawah lini Fantasteen. Dari berbagai resensi yang saya baca, banyak yang menyukai kisah persahabatan antara Theo dan Ludo. Saya agak takut sebenarnya dengan gambar sampulnya yang menyeramkan. Seperti sosok Alice in Wonderland versi hantu. Saya cukup penasaran dengan, apakah sosok Alice ini ada hubungannya dengan cerita.

Well, ternyata benar. Diceritakan, seorang anak laki-laki bernama Theo memiliki sahabat yang amat ia sayangi bernama Ludo. Namun, Ludo sekarat karena penyakit leukemia yang dideritanya. 

Theo sangat takut kehilangan Ludo. Ia rela melakukan apa saja demi kesembuhan Ludo. Dan ya, Theo rela menukar ingatannya tentang Ludo hanya agar Ludo kembali sehat seperti sedia kala. Meskipun itu harus mengorbankan persahabatan yang mereka miliki selama ini.

Dengan siapa Theo menukar ingatannya? Yup, benar! Dengan Alice versi hantu ini. Theo tak sengaja mengikuti kelinci gendut yang dapat berbicara. Kelinci itu tentu saja mirip dengan kelinci terburu-buru yang ada di kisah Alice in Wonderland. 

Si Kelinci membawa Ludo ke toko Alice. Di toko itulah, Theo dapat membeli apa pun yang dia inginkan. Semakin berharga keinginannya, semakin mahal pula bayarannya. Namun, bayarannya bukan memakai uang. Harga untuk kesembuhan Ludo adalah ingatan persahabatan antara Theo dan Ludo. Saat Ludo sembuh nanti, ia tidak akan pernah ingat pernah berteman dengan Theo. Begitu juga dengan Ludo.

Dari segi gaya bahasa, saya tetap menyukai gaya Ziggy. Rasanya seperti membaca buku terjemahan. Apalagi dengan latar cerita yang sepertinya juga bukan di Indonesia. Akan tetapi, saya kurang suka dengan ide ceritanya. Well, mungkin ini masalah ideologis, sih. Saya tahu ini buku fantasi. Tetapi saya tidak suka dengan segala sesuatu yang bekerja sama dengan setan.

Di cerita Saving Ludo ini, Alice adalah jelmaan setan. Setan yang bisa mengabulkan apa pun keinginan manusia dengan bayaran tertentu. Tentu saja, bayaran itu merugikan si manusia. Tetapi siapa yang peduli, toh yang penting keinginan mereka terkabul. Rasanya, untuk buku anak-anak dan remaja, ide cerita ini sangat tidak bagus.

Jujur saja, saya agak menyesal membeli buku ini. Ini bukan jenis buku yang ingin saya koleksi dan simpan untuk anak saya di kemudian hari. Saya tidak tahu, apakah saya akan berpikir seperti ini jika saya membaca buku ini saat masih remaja. Mungkin saya akan menyukainya, mungkin juga tidak. 

Terakhir, setelah membaca buku ini, jujur saja, saya jadi penasaran dengan kisah Lewis Carroll. Meskipun saya tahu ini fiksi, mungkin….yah, hanya mungkin… ada kisah-kisah nyata tersembunyi di dalamnya.

       Toriad (Mizan Fantasteen, 2014)


Jika dilihat dari tahun terbitnya, buku ini diterbitkan sebelum Saving Ludo. Dan setelah cukup kecewa membaca Saving Ludo, saya tidak banyak berharap dengan Toriad. Meskipun sebagian hati kecil saya masih berharap kalau buku ini akan mempesona saya seperti Lucid Dream. Kenyataannya, Toriad tidak lebih menakjubkan ketimbang Saving Ludo. Why? Mari kita ulas sebentar ceritanya.

Toriad berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Green Bean. Ia hidup bersama komplotan pencuri yang dianggapnya seperti keluarga sendiri. Mereka dalam perjalanan mencari Pusaka Bintang. Sayangnya, di tengah perjalanan, Green Bean tidak diajak. Ia dianggap masih terlalu kecil dan disarankan untuk tinggal di desa terakhir yang mereka singgahi.

Tentu saja, Green Bean menolak. Sebesar apa pun bahaya yang menghadang kelompok mereka, ia harus ikut.  Akan tetapi, ketika mereka berpisah jalan, Green diculik. Ketika terbangun, ia sudah berada di negeri asing yang sangat aneh, dan dikabarkan kalau dialah pengendali negeri tersebut.

Entahlah, sejujurnya saya agak pusing dengan cerita ini. Lagi-lagi, ide ceritanya tidak bisa diterima di kepala saya. Saya juga merasa cerita ini agak anti-klimaks. Saya cukup menikmati bagian awal hingga pertengahan cerita. Saat kelompok Green Bean berusaha menyelamatkan diri dari kejaran kelompok yang membahayakan mereka. Cerita mulai terasa aneh ketika Green Bean sampai di negeri Holiston. Negeri tanpa pepohonan, di mana rumah-rumah melayang-layang di udara.

Mungkin saya bukan penggemar berat cerita fantasi. Atau mungkin karena alasan lain. Yang jelas, Toriad is not my cup of tea.

      White Wedding (Pastel Books, 2015)


Inilah karya pertama Ziggy yang saya baca, yang bukan di bawah lini Fantasteen. Dengan judul White Wedding dan sampul berwarna putih yang amat manis, saya berharap ini adalah sebuah kisah cinta yang manis. Membaca blurb-nya juga mendukung hal itu. Bagaimana dengan ceritanya?

White Wedding berkisah tentang gadis kecil benama Elphira yang mengidap albino. Karena penyakitnya tersebut, Elphira tidak bersekolah seperti anak-anak lain seusianya. Dan karena penyakitnya juga, ia amat sangat membenci warna putih.

Elphira bersahabat dengan Sierra. Anak laki-laki berambut merah yang sehari-hari menemani Elphi dan mengajarkannya berbagai macam pelajaran. Elphi sangat menyayangi Sierra, meskipun seringkali Elphi sebal karena Sierra tidak sama dengannya. Sierra sangat menyukai warna putih.

Kali ini, saya cukup menyukai White Wedding. Tema yang diangkat cukup bagus, tentang bagaimana mengelola perasaan kehilangan atau takut kehilangan. Meskipun di sini ada kisah tentang malaikat yang saya anggap sepenuhnya fiksi, saya masih lebih menyukai White Wedding ketimbang dua buku sebelumnya.

Secara umum, saya amat menyukai cara Ziggy berkisah dan bertutur. Entah apa yang dimilikinya, yang jelas gaya menulisnya itu keren sekali. Ide ceritanya juga bagus-bagus sebenarnya. Meskipun ada beberapa yang tidak terlalu saya sukai.

Setelah membaca tiga karya Ziggy, apakah saya ingin membaca karya Ziggy yang lainnya? Tentu saja! Entah kenapa, saya nggak kapok-kapok penasaran dengan karya-karyanya, meskipun tidak semua. Melihat cukup banyak karya yang dihasilkan dan beberapa bahkan mendapatkan penghargaan, sepertinya Ziggy akan menjadi salah satu penulis favorit yang ditunggu-tunggu karyanya di Indonesia.

Setelah membaca tiga buku ini, saya masih penasaran dengan karya Ziggy yang berjudul Di Tanah Lada, Jakarta Sebelum Pagi, dan beberapa karyanya dengan nama pena Ginger Elyse Shelley. Semoga saya berkesempatan membaca semuanya.





Komentar