Resensi Buku: Purple Eyes



Penulis             : Prisca Primasari
Penyunting       : Cerberus404
Penerbit           : Inari
Tahun Terbit    : Cetakan Pertama, Mei 2016
Halaman          : 144


Ada pembunuhan berantai di Trondheim, Norwegia. Hades, sang dewa kematian, merasa harus ikut turun tangan menangani kasus yang satu ini. Si pembunuh harus segera tertangkap dan mendapat hukumannya. Bersama asistennya, gadis aristokrat Inggris bernama Lyre, ia turun ke bumi, menyamar sebagai manusia.

Di Trondheim, Hades menyamar sebagai Halstein dan Lyre sebagai Solveig. Mereka mendantangi rumah Ivarr Amundsen untuk memesan souvenir boneka troll. Sebetulnya mereka tidak benar-benar ingin mengoleksi boneka troll, itu hanya penyamaran saja. Mereka mendatangi Ivarr karena salah satu korban pembunuhan berantai adalah Nikolai, adik kandung Ivarr.

Solveig ditugaskan Halstein untuk mendekati Ivarr. Mencari tahu tentang kehidupannya dan mengungkit-ungkit kembali kematian adiknya. Solveig sama sekali tidak tahu apa sebenarnya rencana Halstein. Ia bahkan tidak tahu apakah itu semua ada hubungannya dengan si pembunuh berantai.

Yang Solveig tahu, semakin ia mengenal Ivarr, semakin ia memahami apa yang terjadi dengan pemuda berhati dingin itu. Semakin ia tak ingin meninggalkan Ivarr sendiri. Masalahnya, Solveig dan Ivarr tinggal di dunia yang berbeda. Dan setelah tugasnya selesai, Solveig harus kembali bersama Halstein ke langit.


Saat pertama kali Prisca mengabarkan tentang karya terbarunya, saya langsung bertekad untuk segera membelinya. Purple Eyes adalah novella manis bernuansa fantasi-dongeng dengan suasana sendu bersalju. Jujur saja, saya rindu dengan tulisan Prisca yang bernuansa Eropa. Dan betapa senangnya saya, saat tahu novella-nya kali ini berlatar di Norway, salah satu negara favorit saya.

Tema ceritanya, menurut saya cukup sederhana. Hanya saja, Prisca mengolah alur ceritanya menjadi mengalir tetapi tetap membuat saya penasaran. Serius, saya benar-benar penasaran dengan pembunuh berantai dan apa hubungan rencana Hades dengan mencari si pembunuh. Pokoknya, clueless banget, deh…

Seperti biasa, untuk penggambaran latar, tidak perlu dipertanyakan lagi. Nuansa musim dingin di Norway-nya terasa banget. Saya jadi ingin jalan-jalan ke Trondheim dan bertemu dengan Ivarr dan Solveig.
Mengenai tokoh, Ivarr mengingatkan saya dengan tokoh Vinter di karya Prisca yang berjudul Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa. Ada beberapa kesamaan di antara mereka berdua, tapi tidak benar-benar mirip. Ivarr dan Vinter sama-sama menyimpan kerapuhan, tapi Ivarr jauh lebih dingin daripada Vinter. 

Sementara Solveig, setelah membaca beberapa karya Prisca, tokoh perempuan di cerita-ceritanya hampir memiliki banyak kesamaan. Florence, Rachel, Aline, Frea, ada sesuatu yang terasa senada dari mereka semua. Mungkin karena lahir dari satu penulis yang sama. Dan bagi saya itu tidak masalah.

Purple Eyes adalah bacaan singkat. Saya selesai membacanya di sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor yang kurang lebih 45 menit. Dan bagian akhirnya, bagaimana si pembunuh berantai itu akhirnya ketahuan, benar-benar sesuatu yang tidak saya sangka.

Bagi yang ingin membaca bacaan ringan, manis, romantis, tapi tetap menarik dan bikin penasaran, Purple Eyes adalah salah satu buku yang bisa dicoba. :)

Saking sukanya dengan penggambaran Trondheim di cerita ini, saya sampai googling beberapa fotonya.

 
lifeinnorway.net

Komentar