Resensi Buku: Forbidden Game #3: The Kill



Penulis             : L.J. Smith
Penerbit           : Simon & Schuster
Tahun terbit      : 1994
Halaman          : 228
Format             : E-book

---------- Warning! Mengandung spoiler dari buku pertama dan kedua -------------------

Di buku kedua, Zach gagal melewati cincin api yang menjadi jalan keluar dari permainan Julian. Tom, yang sebenarnya telah keluar, masuk lagi untuk menyelamatkan Zach. Sayangnya, waktu mereka telah habis, cincin api telah padam dan Tom dan Zach tertinggal di Shadow World.

Tidak ada cara lain bagi Jenny untuk menyelamatkan Tom dan Zach, selain mencari pintu masuk menuju Shadow World. Dan satu-satunya petunjuk adalah rumah kakeknya di Monessen, Pittsburgh. Di sanalah, Jenny kecil tanpa sengaja membuka pintu Shadow World yang disembunyikan kakeknya.

Kakek Jenny adalah professor dan petualang. Dia pergi keliling dunia dan mengoleksi benda-benda mistis yang penuh legenda. Salah satunya adalah “Runes dari Shadow World”, dan itulah alasan mengapa Jenny bisa berhubungan dengan Julian dan dunianya.

Kini, sisa berempat, Jenny, Audrey, Dee, dan Michael, harus menjalani satu permainan lagi dari Julian, demi mengeluarkan Tom dan Zach. Julian berjanji, jika mereka menang, bukan hanya Tom dan Zach dapat keluar, tapi ini juga jadi permainan terakhir mereka yang berhubungan dengannya ataupun Shadow World.

Di Shadow World -yang ternyata berbentuk Joyland Park, sebuah taman hiburan di Monessen- mereka berempat dihadapkan pada permainan Pencarian Harta Karun. Mereka harus menemukan tiga Spanish Doubloon (semacam koin emas) yang tersimpan di area Joyland Park untuk dapat melewati jembatan dan kolam di mana di seberangnya terdapat mercusuar tempat Tom dan Zach dikurung.


Di buku terakhir, pembaca akan semakin mengenal para tokoh, khususnya Julian dan sisi tersembunyinya. (Dan itu yang membuat saya makin suka dengan cowok ganteng ini :D)

Intinya, di buku ketiga, konflik di antara tokoh jauh lebih terasa dibanding di dua buku sebelumnya. Mulai dari Audrey dan Dee yang bertengkar (sebenarnya mereka memang tidak pernah benar-benar akur) hingga Jenny yang melihat sisi vulnerable Julian. Bisa dibilang, kalau ada yang tidak suka dengan Julian di buku pertama dan kedua, di buku ketiga pasti luluh juga dan bersimpati padanya.

Menjelang akhir, sudah bisa ditebak bagaimana endingnya. Meskipun begitu, tetap saja, cerita ini menjadi salah satu yang memiliki ending mengesankan. Not really happy ending or sad ending, but leave mark in very impressing way.
 
Menurut saya, Trilogi Forbidden Game bukan hanya sekedar cerita fantasi tentang sekumpulan remaja yang memainkan permainan, melainkan sebuah kisah tentang persahabatan, cinta, keberanian, loyalitas, dan memberikan pandangan bahwa hidup tidak kejam, kitalah yang melihatnya seperti itu.

Ah, pokoknya nggak menyesal deh baca buku ini!



Komentar