Resensi Buku: The Fault in Our Stars



Penulis             : John Green
Penerjemah      : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit           : Qanita
Tahun terbit     : Edisi Kedua (Movie Tie-in) Cetakan 1 April 2012
Halaman          : 418


Hazel Grace Lancaster, gadis berumur 17 tahun penderita kanker tiroid yang mengganggu fungsi paru-parunya. Sepanjang hari, pernapasan Hazel dibantu dengan tabung oksigen yang disambung dengan kanula yang terpasang di hidungnya. Ia merasa dirinya sekarat, dan semua pengobatan yang dijalaninya adalah omong kosong.

Hingga pada suatu hari, di Pertemuan Kelompok Pendukung yang diikutinya, Hazel bertemu Augustus Waters. Remaja laki-laki penderita osteosarkoma yang berwajah rupawan dan salah satu kakinya adalah kaki palsu. Di kelompok anak-anak penderita kanker itulah Hazel mengenal Augustus lebih jauh, dan mengetahui berbagai macam pikirannya. Salah satunya kesukaan Augustus pada metafora.

Hazel sadar ia sedang sekarat. Tapi ia juga tidak bisa menghindarkan diri dari Augustus. Hazel tidak ingin menjadi granat, yang melukai orang-orang terdekatnya ketika ia pergi. Pikiran tentang  keadaan orangtuanya setelah dia pergi saja, sudah cukup membuat Hazel frustasi. Ia tidak ingin pikiran depresi itu ditambah dengan satu nama lagi, Augustus.

The Fault in Our Stars adalah karya John Green pertama yang aku baca. Sudah lama sih pengen baca, tapi nggak tahu kenapa masih malas beli bukunya. Sampai akhirnya muncul edisi Movie Tie-in dan terpesona banget sama Ansel Elgort (yang memerankan tokoh Augustus). Tanpa pikir panjang, langsung beli buku itu.

Twist-nya oke, awalnya udah mikir, pasti akhirnya begini nih. Ternyata twist di tengah cerita, membuatku menerka kembali. Oke, jadi ada dua kemungkinan, atau bahkan tiga. Hazel yang mati, Augustus yang mati, atau dia-duanya mati bersamaan seperti Romeo dan Juliet. Kenapa aku berpikir pasti ada yang mati? Karena novel dengan tema penyakit (apapun itu) pasti selalu ada yang mati.

Aku nggak tahu apakah aku menyukai The Fault in Our Stars atau enggak. Aku hanya menutup bukunya dengan perasaan ganjil. Rasanya seperti ada yang belum selesai.

The Fault in Our Stars mengandung cukup banyak kata-kata asing, pemikiran-pemikiran asing, yang benar-benar terasa asing bagiku. Pertanyaan-pertanyaan Augustus, pikiran-pikiran Hazel, rasanya gimana ya, kayak mengawang-awang tanpa bisa aku pahami. So indescribable!

Tapi yang jelas aku tetep pengen nonton filmnya. Semata-mata pengen tahu seperti apa akting Ansel Elgort jadi Augustus Waters. Apakah akan sekeren yang terlihat di poster filmnya.


Ansel Elgort as Augustus Waters

[Review ini diikutsertakan dalam Young Adult Reading Challenge 2014 ]

Komentar